Rabu, 25 Juni 2008

Terus Berlari

Hari Baru!
Teman-teman.

Kita sering diingatkan bahwa selama masih hidup, maka roda kehidupanmasih akan terus berputar. Kadang diatas, dan kadang dibawah. Kita inginterus diatas. Namun, hidup memiliki kodratnya sendiri.Yang diperlukanhidup dari kita bukanlah menghentikan perputarannya, melainkan berlaribersamanya. Membawa roda itu menuju ketempat yang nilainya tinggi.Sebab, ditempat yang tinggi, sekalipun bagian roda itu berada dibawah,tetap saja dia tinggi. Jadi, jika kita bisa memberikan derajat yangtinggi pada sang roda, maka berada dibagian bawah roda itu bukanlahmasalah. Melainkan, seperti melodi indah dalam simponi naik dan turunnyairama sebuah orkestra. Itu hanya bisa terjadi jika kita terus berlari.Sebab, jika kita berhenti, maka kita menjadi terdiam seperti mati.

Pagi itu, embun masih enggan untuk beranjak pergi. Menutupi rumput tebalyang menghampar diseluruh permukaan padang golf yang menghijau. Hujansemalam menyisakan sunyi. Juga dingin yang memanjakan. Sementaraburung-burung mulai sibuk bernyanyi tralala-trilili, tak seorangpun sayatemui dipagi buta seperti ini. Kesendirian memberi ruang untuk menikmatisemuanya tanpa ada yang menyela. Nyanyi riang para burung bergabungdengan gemuruh deburan ombak dikejauhan. Bersama suara derak renyah daripergesekan antara alas sepatu dengan landasan semen disepanjang joggingtract yang saya telusuri. Benar-benar damai. Begitu membuai hingga tanpaterasa padang golf sudah berganti dengan bibir pantai yang terjal. Embunbergulat dengan geliat sinar mentari, namun keringat disekujur tubuhsaya bercucuran tanpa kompromi. Tak ada dingin. Melainkan kehangatanyang memenuhi hati.

Sesampai diujung terjauh tebing itu, kita tidak perlu berlari lagi.Inilah ujung dunia itu. Tempat pertemuan antara muara sungai dengantanah dimana kaki berpijak, dan lautan yang mendeburkan suara ombak.Tempat dimana kita bisa membenamkan diri didalam kedamaian. Tempatdimana lagu laut bersenandung merdu merayu kita agar mendekat. Hinggaakhirnya berhadapan langsung dengan sang ombak. Berdiri diatas batukarang kehitaman yang berdiri tegak. Terpukau oleh sisa-sisa air pasangsemalam. Terpikat oleh ikan-ikan kecil yang terperangkap disela-selagenangan. Siput-siput terpaku dalam bisu. Dan rumput-rumput lautmenyajikan hamparan bak beludru.

Ketika saya melompat dari satu batu karang ke batu karang lainya,tiba-tiba saja ada sebuah kesadaran baru. Ternyata, tempat saya berpijakbukanlah benar-benar batu karang. Melainkan setumpuk kulit kerang yangmengeras, melapisi permukaan batu karang itu. Lama-lama, saya menyadaribahwa selama jutaan tahun alam telah menghidupi batu karang itu dengansisa-sisa kulit kerang. Lalu mereka memosil. Dan akhirnya menjadi bagiantak terpisahkan dari struktur batu itu. Tapi, ada satu tanya nyaris takberjawab dibenak saya; 'Mengapa alam begitu rajin mengumpulkan kulitkerang itu?' Dengan telaten membawanya ketempat itu. Dan teramatterampilnya menata kulit kerang itu sebegitu rapi. Tetapi, benarkahmereka melakukannya? Jika bukan, lantas siapa? Yang pasti, itu bukanperbuatan ikan-ikan. Bukan tindakan ombak yang bercipratan. Bukan pulanelayan. Siapa? Saya tidak tahu.

Semakin kuat memendam keingintahuan, semakin terkubur saya dalam rasapenasaran. Formasi itu terlalu indah untuk diabaikan. Hingga akhirnya,saya terdorong untuk mencongkel kulit kerang itu. Namun, tangan ini takkuasa untuk membongkar batu karang. Dia terlalu tangguh. Terlampau kokohuntuk sekedar membuatnya goyah. Saya mencobanya sekali lagi, kali inimenggunakan sebongkah batu. Namun, kulit kerang itu tidak hendak lepasdari pelukan sang batu karang. Mereka begitu menyatu, hingga enggandipisahkan. Saya memukulkan batu itu terlampau keras ketika salah satukulit kerang terpecah. Padahal, saya ingin dia utuh. Bukan hancurseperti itu.

Namun, penyesalan saya berubah menjadi ketakjuban. Ternyata, dibalikkulit kerang yang pecah itu bersembunyi seonggok daging. Daging kerang.Ternyata, kerang-kerang yang saya anggap hanya sisa-sisa sebuahkehidupan itu sesungguhnya masih hidup. Ternyata, mereka bukan setumpukcangkang. Melainkan sebuah spesies kerang yang hidup dengan caramenempelkan dirinya dibatu karang. Berapa lama mereka harus terpakudisitu? Seumur hidup. Sejak lahir, hingga menjemput kematian.Orang-orang di Bali menamakan spesies kerang itu 'kritip'.Yaitu, kerang yang menyerahkan diri kepada batu karang. Dan merekamenjadi bagian dari bertumbuh dan berkembangnya sang batu karang.

Saya tercenung. Memandang kearah laut yang teramat luas. Membayangkanbahwa angin telah mengantarkan sang ombak untuk menjelajah seluruhpenjuru dunia. Mereka-reka bahwa para ikan sudah bepergian kesemua tepibumi. Dan para kura mengembara kemana-mana. Sementara para kritip, hanyatinggal diam terpaku disitu. Tiba-tiba saja, saya menyadari, bahwa hidupkita seperti kritip. Terpaku pada sesuatu yang kita anggap sebagaikenyamanan. Menjadikan kita takut untuk menantang hidup. Meski sepertihalnya samudera luas itu, hidup sungguh menyediakan berbagai macampeluang. Menyajikan banyak hal yang lebih baik daripada tempat dimanakita berada kini. Namun, kita enggan meninggalkan kenyamanan ini danmelintasi rintangan demi pencapaian kita yang berikutnya. Dan kitamengatakan; "sudahlah, saya sampai disini saja". Sehingga sangwaktu yang telah menempuh perjalanan begitu jauh, hanya membawa kitaketempat yang sama. Tidak. Kita tidak boleh seperti itu lagi. Kita harusbersedia berhenti dari berhenti. Untuk kembali berlari. Dan terusberlari lagi.

Tiba-tiba saja saya teringat tentang jebakan zona kenyamanan. Comfortzone. Seolah tengah kembali diajarkan sang kritip. Dan begitulah pulamanusia pada umumnya. Ketika kita sampai kepada sebuah tempat dimanakita merasa nyaman, maka kita menjadi enggan untuk beranjak dari tempatitu. Sehingga, gagasan tentang 'keluar dari zona kenyamanan'semakin terdengar seperti sebuah lelucon. Cobalah tengok, pencapain kitahari ini. Apakah masih sama dengan yang hari kemarin? Berbedakah denganapa yang bisa kita wujudkan tahun lalu? Jangan-jangan, semuanya masihseperti yang dulu-dulu. Kita memang ikut penjelajahan sang waktu. Namun,kita hanya diam disitu. Padahal, hidup tidak pernah berhenti menawarkanbanyak hal baru. Seperti samudera yang bersedia membawa kita mengembarakeseluruh penjuru dunia. Tapi, karena kita terpesona dengan sang zonakenyamanan, maka kita memutuskan untuk berhenti. Kemudian menyerahkandiri, seperti sang kritip memasrahkan hidupnya kepada sang batu karang.Hingga tidak jelas lagi perbedaan antara hidup dengan mati.Sampai-sampai, kita ragu apakah kita ini masih hidup, atau sudahkah kitamati.

Zona kenyamanan juga mengisyaratkan kita tentang memberi nilai kepadahidup itu sendiri. Kita, merasa nyaman dengan perilaku-perilaku kita.Meskipun itu buruk, namun kita enggan meninggalkan keburukan itu. Walautahu itu merugikan orang lain, tapi kita keberatan menghentikannya. Biaritu merendahkan diri, kita meneruskannya juga. Hingga kita beraniberkata; "Mencari uang dengan cara curang saja sudah susah, apalagimelakukannya dengan kejujuran?" Kita percaya bahwa ombak dihadapankita itu terlampau berbahaya. Jadi, kita memilih berdiam diri sepertisang kritip. Kita percaya bahwa menjadi orang jujur itu menyusahkanhidup, maka kita memilih terpenjara dalam kecurangan.

Memang, selama ini saya sering bertanya; mengapa orang tidak gampanguntuk sadar? Ternyata sebenarnya mereka sadar. Seorang pencuri, sadarbahwa mencuri itu bukan tindakan yang baik. Seseorang yang mengambiluang bukan haknya sadar bahwa tindakannya melanggar norma-norma.Seseorang yang menindas orang lain sadar bahwa perbuatannya tidakmencerminkan nilai luhur dirinya sebagai seorang manusia. Namun, kitamerasa bahwa tinggal selamanya dalam kubangan perbuatan-perbuatan itusebagai cara teraman, dan ternyaman. Sebab, dengan begitu kita bisamendapatkan banyak uang secara instan. Mudah. Dan melimpah. Sedangkan,jika meninggalkan cara itu, dan mulai berenang didalam ombak;tantangannya terlalu berat. Belum tentu kita bisa bertahan dalam terpaangelombang kehidupan itu. Jangan-jangan, kita akan mati tenggelam. Jadi,mengapa kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ini? Padahal, sangkritip mengatakan; "Kamu akan mati, jika berhenti dalam kubanganitu. Yang mati bukan dirimu. Tapi hatimu. Lalu hati itu memosil. Dankemudian mengeras, serupa kerasnya batu karang......."

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/ <http://www.dadangkadarusman.com/>

Rabu, 18 Juni 2008

ADA FOTO LAGI LHO .........






LUAR BIASA!!!!!!!!!!

Luar biasa!!!
Pernahkan Anda membayangkannya?
Pada waktu benda-benda angkasa ini diperbandingkan

kita menjadi sadar betapa kecilnya bumi dan kita para penghuninya.

Jagad raya yang sangat besar.

Dalam skala ini bumi kita tidak kelihatan lagi

Di sini matahari hanya sebesar debu! Antares adalah bintang ke 15 yang paling terang di angkasa. Jaraknya lebih dari 1000 tahun cahaya dari bumi.

Lalu . . .
siapakah kita?
apakah tujuan hidup kita?
Apa yang membuat hidup kita, manusia, berharga?
Masihkah kita bisa menepuk dada & berkata "inilah aku!"...??



Senin, 16 Juni 2008

foto munaqosyah santri tpa bandko sewon







>>>>>>> Team Munaqyis dari Propinsi dan Pak Yoyok sedang berdiskusi










>>>>>>>suasana ujian,











segala macam transportasi digunakan yang penting bisa ikut ujian
\/
\/
\/















belajar dulu biar bisa lulus
\/